URGENSI ILMU PENGETAHUAN DALAM BERISLAM #2

(Disadur dari Kuliah Subuh Kiai Dawam Saleh: Bagian Dua)

Ahad, 25 Juli 2021/15 Dzulhijjah 1442

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ

“Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada kami Hafs bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Syindzir dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu tidak pada ahlinya, ia seperti orang yang mengalungkan mutiara, intan dan emas pada seekor babi.”[1]

Rasulullah Saw. mengatakan bahwasanya mencari ilmu merupakan “فَرِيْضَةٌ”, maksudnya “فَرْضٌ”, dengan kata lain adalah kewajiban, yaitu bagi setiap muslim (pun muslimah). Cobalah perhatikan keterangan ini, betapa pentingnya ilmu pengetahuan, hingga menurut agama Islam adalah kewajiban. Berbeda halnya menurut agama lain, apakah wajib atau tidak mencari ilmu. Jadi menurut Islam mencari ilmu adalah kewajiban karena kita orang Islam. Apa maksud wajib atau “فَرِيْضَةٌ”? Yaitu apabila kita melaksanakan, maka kita mendapatkan pahala. Apabila tidak melaksanakan, maka berdosa. Menjadi orang Islam harus memiliki ilmu, kalau tidak demikian berdosa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu.

Kemudian, kewajiban (فَرِيْضَةٌ) tersebut ada dua, yaitu fardu ain dan fardu kifayah. Fardu ain artinya setiap diri memiliki kewajiban. Kata ain (عَيْنٌ) bisa berarti mata dan diri. Sedangkan fardu kifayah artinya cukup, berasal dari bahasa Arab “كَفَى-يَكْفِيْ-كِفَايَةً” (fardu yang cukup). Kalau ada orang yang melaksanakan, maka lainnya tidak terkena kewajiban. Itulah fardu kifayah. Jadi kalau sudah ada yang melaksanakan, maka yang lainnya tidak berkewajiban. Tapi kalau belum ada satupun yang melaksanakan, maka berdosa. Fardu ain haruslah dilaksanakan setiap orang. Seperti salat lima waktu adalah fardu ain.

Seperti kita ketahui ilmu pengetahuan terdapat tiga macamnya, yaitu Ilmu Agama, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Yang mana di antaranya adalah fardu ain dan berlaku dalam hadis tentang bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi muslim? Yaitu Ilmu Agama yang dasar, inilah yang wajib. Hal ini dikarenakan kita hidup di dunia harus mengerti bagaimana tujuan pokok di dunia dan apa yang harus dilakukan. Hal demikian berada dalam Ilmu Agama yang dasar, apakah itu? Yaitu akidah, iman, pokok-pokok dasar bagaimana salat lima waktu, kemudian cara hidup, makan, mencari uang, bergaul dengan sesama manusia apa yang harus dilakukan, kapan kita bangun, dll. Inilah ilmu dasar dan wajib bagi orang Islam.

Adapun fardu kifayah adalah ilmu pengetahuan umum seperti IPA. Misal, di suatu daerah tidak ada sama sekali dokter, maka semuanya berdosa. Apabila sudah ada yang melaksanakan, maka sudah cukup, tidak semuanya harus menjadi dokter. Begitupun dengan pendalaman pada Ilmu Agama (التَّفَقُّهُ فِيْ الدِّيْنِ) tidak semuanya berkewajiban mendalaminya, tetapi pokok dan dasar dari agama semuanya wajib melakukannya. Perihal mendalami, mengerti satu persatu ayat Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw., bahasa Arabnya, nahwu dan sharaf, bukanlah fardu ain, tetapi fardu kifayah. Jadi apabila di suatu desa atau daerah, sudah terdapat seorang yang fakih, yaitu ahli dalam hukum Islam, memperdalam pemahamannya terhadap Islam, sudahlah cukup. Jika belum ada, maka semuanya berdosa. Inilah perihal fardu.

Yang wajib adalah ilmu untuk kebutuhan dasar. Pada dasarnya, kebutuhan dasar di dalam hidup terdapat pada agama. Ia mampu menjawab pertanyaan aksiologis, seperti untuk apa kita hidup? Apakah sekadar makan? Secara hakikat, hal dasar bagi orang Islam adalah menyembah Allah Swt. Untuk apa kita hidup? Apabila seseorang tidak mengerti agama, hidup adalah untuk makan, kawin, makan, kawin, makan, kawin, demikian seterusnya. Tidak dengan orang Islam, bahwa tujuan pokok dalam hidup adalah menyembah Allah Swt. Kita semuanya harus mengerti bahwa sebuah kewajiban bagi kita untuk mempelajari agama. Adapun untuk memperdalamnya adalah fardu kifayah. Hal ini sesuai dengan apa yang diterangkan QS. At-Taubah, 9: 122.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (menuju medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Hamka di dalam tafsirnya, Al-Azhar, menerangkan bahwa ayat tersebut memperlihatkan adanya pembagian tugas di antara umat Islam. Setiap golongan dalam umat Islam, baik muda atau tua, bujang atau belum menikah ketika mendengarkan seruan untuk berperang, seluruhnya diharuskan terlibat. Kendati demikian, tidaklah dari semua golongan itu berjuang dalam medan yang sama, tetapi hendaklah sekelompok (طَاۤىِٕفَةٌ) dari mereka memperdalam pemahaman (fikih) terhadap agama. Sebab memperdalam pengetahuan perihal agama merupakan bagian dari jihad di jalan Allah Swt. Ada perjuangan di garis muka (dengan pedang) dan garis belakang (dengan Ilmu Agama).[2]

Terdapatlah hadis-hadis yang memperlihatkan kedudukan seorang alim dalam hal agama adalah sama, bahkan lebih tinggi setingkat, dengan seorang yang berjuang (jihad) di jalan Allah Swt. dalam peperangan.

 قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ أَهْلُ الْعِلْمِ وَأَهْلُ الْجِهَادِ أَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوْا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَأَمَّا أَهْلُ الْجِهَادِ فَجَاهَدُوْا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ

“Manusia yang paling dekat kepada derajat nubuat ialah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu, merekalah yang menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh rasul-rasul. Dan adapun ahli jihad, merekalah yang berjuang dengan pedang-pedang mereka, membawa apa yang dibawa oleh rasul-rasul itu.” (HR. Abu Nu‘aim dari Ibnu ‘Abbas)[3]

قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يُوْزَنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ وَدَمُ الشُّهَدَاءِ

“Ditimbang di hari Kiamat tinta orang-orang yang alim dengan darah orang-orang yang mati syahid.” (HR. Ibnu ‘Abdil Bar dari Abu Darda’)[4]

Kedua hadis tersebut, menurut Hamka, kendati sanadnya lemah dan berstatus daif, telah disalinkan oleh Imam Al-Ghazali ke dalam bukunya, yaitu Ihya Ulumiddin. Demikianlah Ilmu Agama menjadi urgen di dalam mengawal perjuangan Islam, sehingga di antara kalangan umat hendaklah terdapat orang-orang yang merelakan dirinya memperdalam ilmu pengetahuan demi memberikan peringatan kepada umat untuk tetap memiliki kewaspadaan diri jika suatu waktu menyimpang dari garis kehidupan yang telah ditetapkan Allah Swt..

Na‘am, ha>kaza> (baik, demikianlah).  

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


[1] Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah (Juz 1),no. 224, hlm. 81.

[2] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar: Jilid 4 (Jakarta: Gema Insani, 2015), 319.

[3] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin: Jilid 1 (Jeddah: Dar Al-Minhaj, 2011), 23.

[4] Ibid., 24.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *