Pondok Pesantren Al-Ishlah didirikan pada 13 September 1986 oleh Drs. Muhammad Dawam Saleh, seorang sarjana filsafat UGM yang juga alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Saat berdiri, pondok yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan ini hanya berupa sebuah rumah tua di atas lahan seluas 25 m x 35 m. Dari rumah inilah Muhammad Dawam mengawali pembinaan santri-santri pertamanya yang tak lebih dari 10 orang.
Gagasan Mendirikan Pesantren
Seperti dikatakan Muhammad Dawam, keinginan untuk mendirikan pesantren sebenarnya telah muncul pada dirinya sejak masih belajar di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Saat menjalani masa pengabdiannya sebagai guru di Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor antara 1972-1977 itulah keinginan untuk mendirikan pesantren itu lahir. Keberhasilan K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani dan K.H. Imam Zarkasyi dalam membangun Pondok Gontor sebagai salah satu pesantren terkemuka di Indonesia, agaknya yang memberi inspirasi kuat kepadanya untuk mendirikan pesantren seperti Gontor.
Sebelum merealisasikan cita-citanya, Muhammad Dawam sempat mencari pengalaman di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, selama lima beberapa tahun. Selain membantu mengajar, ia bersama beberapa rekannya alumni Gontor seperti M. Amin Abdullah (kemudian menjadi Rektor UIN Yogyakarta) dan Habib Chirzin (kemudian menjadi ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, juga membantu K.H. Hamam Dja’far dalam menangani berbagai kegiatan. Selama di Pabelan pula, Muhammad Dawan menyempatkan diri untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas Filsafar UGM Yogyakarta.
Muhammad Dawam baru pulang kampung setelah menyelesaikan kuliahnya di UGM Yogyakarta (1982). Ia kembali ke kampung halamannya di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, dengan satu tekad, mendirikan pesantren. Hanya saja, perjalanan untuk mewujudkan cita-cita tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Proses panjang harus dilaluinya sebelum akhirnya ia berhasil menemukan titik terang di tahun 1986.
Perintisan Pesantren
Ketika mengawali perintisan pesantren di tahun 1982, kendala terbesar yang dihadapi Muhammad Dawam adalah minimnya dukungan masyarakat terhadap cita-cita yang ditawarkan. Salah satu sebabnya adalah karena pesantren yang hendak dibangun tidak diarahkan untuk berafiliasi ke golongan tertentu, melainkan berdiri di atas dan untuk semua golongan, seperti Pondok Modern Gontor. Tentu saja, gagasan semacam ini tidak populer di mata masyarakat, karena masyarakat telah terbagi dalam dua kelompok yang relatif fanatik, yakni Nahdlatul Ulama di satu pihak dan Muhammadiyah di pihak lain.
Kendala kedua adalah kurangnya modal untuk membangun pesantren. Muhammad Dawam benar-benar harus memulai perintisan pesantrennya dari nol. Tidak ada lahan, tidak ada bangunan, juga tidak ada santari yang bisa dijadikan modal penyelenggaraan pesantren. Akibatnya, ketergantungan pada dukungan masyarakat menjadi sangat terasa pada masa-masa sulit itu. Namun, semua itu harus dijalaninya dengan sabar dan tabah, sambil terus berikhtiar mencari jalan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Salah satu cara yang kemudian ditempuh Dawam adalah mengadakan pengajian agama di Mushola Beji, sebuah mushola tua milik masyarakat, yang selama ini sepi dari kegiatan kecuali salat jamaah dengan jumlah jamaah yang bisa dihitung dengan jari. Kegiatan di mushola ini sempat berjalan beberapa waktu, namun dianggap kurang prospektif karena jamaahnya masyarakat umum yang tidak mungkin diharapkan menjadi rintisan santri untuk sebuah pesantren yang hendak dibangun.
Pada tahun 1983 langkah baru dicoba. Ia mengadakan kursus bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu agama bagi anak-anak desa yang putus sekolah. Kursus ini diselenggarakan secara gratis di rumah Ibu Ruhani. Mulanya, jumlah pesertanya 48 orang. Namun, lama kelamaan makin menyusut, dan terakhir tinggal 8 orang pada saat kursus itu dibubarkan tahun 1987. Kursus ini tidak berjalan efektif karena pesertanya adalah anak-anak yang tidak sepenuhnya siap untuk dibina. Sebagian sudah bekerja dan memiliki kesibukan di rumah masing-masing. Sebagian lagi mengikuti kursus hanya untuk mengisi waktu kosong.
Berdirinya Pesantren
Perintisan Pondok Pesantren Al-Ishlah mengalami fase baru ketika Muhammad Dawam ditawari pengurus ranting Muhammadiyah Sendang-agung untuk menjadi Kepala SMP Muhammadiyah. Kebetulan lembaga pendidikan tersebut memerlukan figur kepala yang berintegritas. Setelah melalui berbagai pertimbangan, tawaran itu akhirnya diterima. Meski mendapat posisi penting di perguruan Muhammadiyah, Muhammad Dawam tetap tidak melupakan cita-citanya untuk mendirikan pesantren.
Dalam kapasitas sebagai kepala SMP, Dawam berusaha mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga tersebut. Antara lain dengan mengadakan pelajaran tambahan yang meliputi bahasa Arab, bahasa Inggris, ilmu agama, dan matematika di luar jam formal. Pelajaran tambahan itu terbukti memberi nilai tambah bagi siswa dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Bahkan, melihat perkembangan tersebut, beberapa wali murid mengusulkan supaya didirikan asrama bagi anak-anak mereka yang siap dididik di lingkungan pesantren.
Dukungan yang kuat dari masyarakat ini rupanya menjadi karunia tersendiri bagi Muhammad Dawam. Sebuah rumah tua akhirnya didirikan di atas lahan milik keluarganya yang kebetulan berjarak hanya 100 meter dari SMP Muhammadiyah. Sepuluh siswa siap menjadi santri pertama di bawah bimbingannya. Sejak itulah tanggal berdirinya asrama tersebut, 13 September 1986, dijadikan tengara berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah.
Seiring berjalannya waktu, Pondok Pesantren Al-Ishlah terus mendapat kepercayaan masyarakat. Yang berminat masuk ke pesantren baru ini tidak hanya anak-anak dari desa setempat, melainkan juga luar desa, bahkan luar kabupaten. Jumlah santrinya terus bertambah, dari 10 orang di tahun pertama menjadi 17, 30, dan 82 santri pada tahun-tahun berikutnya.
Penataan Lembaga
Tiga tahun pertama setelah berdirinya pesantren, banyak diisi untuk memantapkan program, menambah sarana-prasana, dan menata kelembagaan pesantren. Program rutin yang dijalankan adalah pelajaran diniyah (kurikulum pondok) bagi siswa SMP Muhammadiyah dan pembinaan santri yang bermukin di dalam pondok. Selain itu, ada usaha-usaha untuk menambah sarana di lingkungan pesantren seiring bertambahnya jumlah santri. Pada tahun 1987, atas lobi adik Muhammad Dawam yang bekerja di Atase Agama Kedutaan Saudi Arabia di Jakarta, Aman Nadir Saleh, Pondok Pesantren Al-Ishlah mendapat bantuan masjid ukuran 12 meter x 8 meter dari keluarga al-Doghaether, Saudi Arabia. Bersamaan dengan itu pula, pesantren ini dapat membangun satu lokal asrama baru dan satu rumah tua atas swadaya masyarakat.
Sejumlah langkah strategis terjadi pada tahun 1989 terkait penataan lembaga pesantren adalah: pembentukan Yayasan Al-Ishlah, pendirian MA (Madrasah Aliyah) Al-Ishlah, dan dibukanya Pesantren Putri Al-Ishlah. Yayasan Al-Ishlah dibentuk sebagai kebutuhan untuk menjamin status hukum Pondok Pesantren Al-Ishlah sebagai lembaga pendidikan. Selain itu, rencana pendirian MA Al-Ishlah pada tahun yang sama secara administratif juga memerlukan adanya yayasan sebagai penyelenggara. Karena itu, pada 21 April 1989, Yayasan Al-Ishlah dibentuk dengan pengurus: Drs. M. Dawam Saleh (ketua), Drs. Yastur, Abdul Ghofar (wakil ketua); Ahmad Thohir, Imron Rodli (sekretaris), Milhan, Sukarno (Bendahara), ditambah sembilan anggota dan empat orang penasehat atau penyantun. Akta Yayasan dibuat di hadapan Notaris Rochajah Hanum, SH dengan No. 15, dan terdaftar di Pengadilan Negeri Lamongan dengan nomor: 07/1989/PN Lamongan, tertanggal 25 April 1989.
Tahun 1989 juga menyaksikan berdirinya MA Al-Ishlah. Pendirian MA Al-Ishlah didasari oleh kebutuhan penyediaan lembaga lanjutan bagi santri-santri generasi pertama yang telah tiga tahun belajar di pondok ini. Setelah menyelesaikan belajarnya di SMP, tentu mereka membutuhkan sekolah lanjutan. Untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, sekaligus untuk melangsungkan tradisi pendidikan enam tahun di Pondok Pesantren Al-Ishlah, didirikanlah MA (Madrasah Aliyah) Al-Ishlah yang mulai beroperasi pada tahun pelajaran 1989/1990. Pada waktu itu, ada 21 murid yang terdaftar sebagai murid pertama, terdiri dari 14 putera dan 7 puteri. Sedangkan kepala madrasahnya adalah Dra. Mutmainah, istri Muhammad Dawam Saleh.
Jika jenis lembaga yang dipilih adalah MA, bukan SMA (Sekolah Menengah Atas). Hal itu karena pertimbangan misi MA lebih dekat dengan misi pendidikan Pondok Pesantren. Sungguh pun demikian, MA Al-Ishlah tidak berhenti pada model pendidikan yang ditawarkan MA Departemen Agama. MA Al-Ishlah tetap ingin menjadi madrasah yang unggul dan berkualitas. Karena itu, model pendidikan yang diterapkan di madrasah ini diupayakan untuk lebih dari sekedar MA yang tetapkan Departemen Agama.
Tahun 1989 juga ditandai dengan dibukanya Pesantren Puteri Al-Ishlah, persisnya tanggal 17 Juli 1989. Hal ini dilakukan karena adanya permintaan sebagian masyarakat agar dibuka pesantren putri. Mula-mula, pesantren puteri ini diletakkan di rumah Ibu Ruhani yang dulu pernah dijadikan tempat kursus bagi anak-anak desa saat perintisan pondok. Beberapa bulan kemudian, setelah tersedia asrama puteri di lingkungan kampus pesantren, santri-santri itu dipindahkan ke lingkungan Pondok Pesantren Al-Ishlah.
Penyelenggaraan pesantren puteri memang belum terpisah secara total dari lingkungan pesantren putera. Artinya, tempat pesantren puteri masih dekat dengan pesantren putera meski dipisahkan oleh rumah kiai. Beberapa kegiatan juga masih dilaksanan bersama, termasuk dalam pendidikan formal. Namun bukan berarti hubungan antara putera dan puteri bersifat bebas. Di balik sekat fisik yang terbatas, tetap diberlakukan peraturan yang ketat terkait hubungan santri putera dan santri puteri.
Pemantapan Program
Setelah unit-unit kelembagaan yang ada dalam pesantren dibentuk, upaya berikutnya adalah memantapkan program dan kinerja unit-unit tersebut agar berfungsi sebagaimana mestinya. Dua jenjang pendidikan yang dikelola Pondok Pesantren Al-Ishlah pada tahap ini adalah Madrasah Diniyah Wusto dan Madrasah Aliyah Al-Ishlah.
Madrasah Diniyah Wusto adalah program pendidikan non-formal bagi santri-santri tingkat SLTP. Program ini berisi pengajaran sejumlah mata pelajaran yang meliputi bahasa Arab, bahasa Inggris, al-Qur’an, hadits, fiqih, tarikh Islam, dan matematika. Pelaksanaannya pada pagi hari dengan alokasi waktu tiga jam pelajaran per hari. Pesertanya adalah santri-santri Pondok Al-Ishlah yang secara formal bersekolah di SMP Muhammadiyah Sendangagung. Tradisi ini telah berjalan sejak awal berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah. Bagi SMP Muhammadiyah Sendangagung, program ini sangat membantu peningkatan kualitas pendidikan siswa, baik dari segi pengajaran bahasa Arab, bahasa Inggris, pendidikan agama, dan pembinaan kepriabdian siswa pada umumnya. Pondok Pesantren Al-Ishlah sendiri tidak mendirikan lembaga pendidikan formal sejenis untuk tingkat ini karena alasan sejarah, yakni mengingat bahwa pendirian pondok pesantren ini pada mulanya adalah dengan membina siswa-siswi SMP Muhammadiyah Sendangagung yang siap mondok di Pondok Pesantren Al-Ishlah.
Madrasah Aliyah Al-Ishlah adalah lembaga pendidikan formal tingkat SLTA yang diselenggarakan oleh Yayasan Al-Ishlah atau Pondok Pesantren Al-Ishlah. Secara formal, lembaga pendidikan ini mewakili wajah Pondok Pesantren Al-Ishlah, karena melalui lembaga inilah Pondok Pesantren Al-Ishah mengaktualisasikan visi dan misinya. Sebagai lembaga pendidikan Islam, MA Al-Ishlah mencoba mencari bentuk lembaga yang khas. Ia mencoba mensitesakan sistem pendidikan nasional dengan keunggulan Pondok Modern Gontor. Karena itu, selain menerapkan kurikulum nasional, MA Al-Ishlah juga berusahamengintegrasikan kurikulum Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) Gontor di dalamnya, terutama hal-hal yang terkait pembelajaran bahasa Arab dan Inggris, pemanfaatan keduanya sebagai bahasa pengantar pembelajaran, dan pendidikan agama Islam pada umumnya. Beberapa kegiatan pengembangan diri juga sangat diperhatikan, baik yang dilaksanakan di lingkungan madrasah maupun pesantren. Semuanya diarahkan untuk membekali siswa dengan kecakapan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, selain untuk variasi kegiatan di tengah kesibukan rutin belajar mereka.
Untuk menjaga kualitas pendidikan dan pembinaan, kebijakan yang telah dibangun sejak berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah adalah mengharuskan siswanya tinggal di lingkungan pesantren dan mengikuti kegiatan-kegiatannya. Hal ini berlaku bagi semua santri kecuali siswa yang berasal dari Desa Sendangagung yang masih membantu orangtuanya di rumah. Kebijakan ini diberlakukan sejak awal berdirinya pesantren dengan maksud untuk menjamin mutu pembinaan, baik di bidang agama, bahasa, akhlak, mental, dan unsur-unsur kepribadian lainnya.
Kini, setelah seperempat abad usianya, Pondok Pesantren Al-Ishlah menjadi salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Lamongan. Jumlah santrinya mencapai 1.300 orang pada tahun pelajaran 2010/2011, terdiri dari 570 santri putera dan 735 santri puteri. Mereka berasal dari berbagai daerah, utamanya Kabupaten Lamongan dan kawasan pantura Jawa Timur. Selain itu juga ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, bahkan Malaysia. Luas kampusnya kini 1.700 m2, dan tenaga guru dan pembinanya sekitar 100 orang.