Refleksi Kemerdekaan RI ke-78, Japanofilia: Ironi Indonesia Merdeka secara Budaya!

Oleh Alka Nadwa

Penulis adalah seorang remaja kelahiran Jakarta. Saat ini kelas 12 MIPA 3 MA Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan. Wakil Ketua OPPI 2022/2023.

Tujuh puluh delapan tahun lalu, para pendiri bangsa berjuang memerdekakan Indonesia. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk mengusir tentara Jepang pada saat itu. Bahkan, perseteruan antar sesama orang Indonesia sampai terjadi.

Jika kita melihat kilas balik sejarah, ketika negeri Sakura diserang oleh sekutu, ada sebagian orang berpendapat bahwa waktu itu tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, mereka disebut golongan muda. Berbeda halnya dengan argumen golongan tua yang tidak ingin tergesa-gesa dan harus melalui perhitungan politik yang matang. Kerja sama dengan Jepang dapat membantu Indonesia mencapai kemerdekaan dengan cara damai, begitu keyakinan mereka.

Perdebatan pun terjadi antara dua golongan tersebut. Setelah didesak oleh golongan muda dalam suatu peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok, golongan tua akhirnya mengabulkan permintaan golongan muda. Tanggal 17 Agustus 1945 dinyatakan sebagai hari kemerdekaan Indonesia.

Perjuangan para pendiri bangsa memerdekakan Indonesia tidak bisa lepas dari perlakuan penjajah yang semena-mena terhadap pribumi. Salah satunya kerja paksa (romusha) yang dicetuskan oleh pemerintah Jepang ketika menguasai wilayah nusantara. Pertumpahan darah sering terjadi untuk melawan serdadu negara Nippon tersebut.

Namun, jika kita membuka mata, lalu melihat fenomena yang terjadi belakangan ini. Budaya Indonesia perlahan luntur oleh budaya asing yang masuk ke negara kita. Mirisnya budaya tersebut berasal dari negara yang dulu pernah menjajah Indonesia. Melalui media digital seperti tayangan televisi, drama berkarakter anime, dan video game bergaya anime. Pengaruh tontonan berbau anime tersebut sangat besar, apalagi terhadap budaya lokal. Generasi zaman sekarang akan lebih tertarik dengan sesuatu instan yang ditawarkan oleh platform digital daripada melestarikan budaya negara sendiri.

Menurut perspektif masyarakat Jepang sendiri mengenai wibu ini tidak ada masalah. Bahkan mereka cenderung senang dan menganggap sebagai pujian apabila terdapat orang luar yang memiliki ketertarikan terhadap negaranya. Walaupun pada dasarnya wibu tidak begitu memahami budaya Jepang yang asli, akan tetapi mereka masih tetap bersemangat mencari informasi tentang jepang (Alzer Rahmatulloh, 2022).

Sedangkan beberapa perspektif masyarakat Indonesia terhadap wibu yang sedang marak di Indonesia salah satunya; mereka memiliki kebiasaan binge-watching anime setiap hari sehingga membuat mereka jarang berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Lebih parahnya, mereka mengunggulkan atau bahkan membandingkan budaya Indonesia dengan budaya Jepang yang lebih menarik.

Indonesia tercatat sebagai negara ketiga setelah Filipina dan El Salvador yang memiliki penggemar budaya Jepang terbanyak. Japanofilia atau lebih kita kenal dengan sebutan wibu sudah menjadi hal lumrah yang melekat pada beberapa penduduk Indonesia. Kecintaan mereka dinilai fanatik terhadap budaya Jepang. Budaya yang seharusnya dilestarikan malah terlupakan.

Hal ini bisa menjadi peringatan bagi kita. Jika kita benar-benar merenungkan kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendiri bangsa, maka kita akan sadar apa yang harus kita lakukan sebagai warga Indonesia. Rasa nasionalisme harus terpatri dalam sanubari kita sebagai rakyat Indonesia. Cinta terhadap budaya lokal adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Jangan sampai usaha orang-orang terdahulu menjadi sia-sia karena sikap acuh kita terhadap budaya Indonesia. Sebaiknya kita menghargai perjuangan mereka yang telah membela tanah air yang kita tinggali sampai saat ini.

Editor: Fani Firda Yuniarti

Proofreader: phzdr

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *