Mukena Untuk Bunda

Hari itu Wildan diam-diam mengikuti bundanya menuju pasar sekar, pasar yang menjual barang-barang mahal. Bundanya juga tak menyadari jmika putranya mengikutinya. Bundanya lalu berhenti di sebuah toko yang memajang mukena-mukena di depannya. Wildan mengawasi, memasang telinga lekat-lekat, ingin mengetahui apa yang dilakukan bundanya di pasar Sekar.;

“Ibu, mau beli mukena?” tanya seorang perempuan penjaga toko itu. Bunda Wildan tersenyum lembut, lalu balik bertanya.

“Saya mau lihat dulu, boleh?”

“Oh ya, silahkan!” jawab penjaga toko itu dengan anggun.

Wildan menerawang ke arah mata ibuya yang berbinar. Bundanya berkeinginan untuk memiliki mukena yang ia belai dengan hati-hati. Mukena putih yang berkilau dengan renda yang indah di tepinya. Bunda Wildan terlihat senang dalam arti bayangan karena ada kesedihan yang terlalu nampak bagi Wildan. Wildan menyadari, dirinya bukanlah anak pekerja Pertamina atau pengusaha. ‘Aku sudah dewasa’ katanya setiap kali mengingat ayahnya yang sudah di surga. Bunda yang amat dicintainya memanglah hanya seorang penjual sayur. Tapi itu bukan suatu tantangan hidup untuknya. Hidup memang penuh tantangan ‘tapi inilah hidup’ renungnya dalam semangat. Wildan tahu, bundanya pasti ingin memiliki mukena tersebut. Namun tak ada uang cukup untuk merebut mukena itu dari tokonya.

Wildan beranjak dari tempat persembunyiannya dan pergi dari sana. Ia tak ingin melihat lebih lama lagi kesedihan yang dapat ia terawang dari hati bundanya meski bundanya menyembunyikan kesedihan itu. Dan ia tak ingin bundanya tahu bahwa ia diam-diam menguntit. ‘Bunda ingin mukena baru’ tuturnya sepanjang perjalanan entah kemana. Ia berfikir, merenung dan mencoba cari solusi. Wildan ingin menghadiahkan mukena itu di hari ulang tahun bundanya. Namun darimanakah uang yang akan ia gunakan untuk membeli mukena itu? “Aku harus bekerja, ya, harus!” ungkapnya dalam hati. Tapi kerja apa yang dapat dilakukannya? Itu yang menjadi masalahnya. Karena ia juga harus bersekolah. Ia kini sudah menginjak jenjang putih abu-abu tahun pertama.

Ia berjalan terus hingga sampai di jalan setapak pasar Mekar. Pasar yang kumuh, dengan barang-barang murah berkualitas rendah lengkap dengan adanya preman pasar. Wildan tak tahu apa yag harus di perbuat disana. Ia lalu memandangn pak Mahmud, penjual susu yang ia kenal baik. Wildan bermaksud bekerja dengannya. Ia lalu mendatangi toko pak Mahmud yang satu-satunya memakai keramik. Dengan harapan ia bisa mulai bekerja hari itu juga. Pak Mahmud nampak sedang menata tong susu. Wildan lalu datang lengkap dengan senyum akrabnya dan mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum, pak Mahmud!”, sapa Wildan yag lalu membuat penjual susu yag ia maksud itu mendongak. Pak Mahmud lalu tersenyum dan menjawab.

“Eh, wa’alaikum salam, ada apa wil??”, mendengar kata ‘ada apa’ membuat Wildan lantas terdiam. Ingin sekali mengutarakan maksud kedatangannya. Namun hal tersebut tiba-tiba terdesak oleh respon yang akan ia dengar dari pak Mahmud jika ia mengutarakan maksudnya. Ia pernah membantu pak Mahmud, namun hari itu baginya hanya iseng. Dan tentu saja tanpa imbalan. Akan beda ceritanya jika ia sengaja membantu demi segenggam upah. Ia tak bisa mengira-ngira apa jadinya. Jika ia berkata meminta dipekerjakan lengkap dengna upah yang sepadan.

“Wil… wil… Wildan…” pak Mahmud melambaikan tangannya di depan wajah Wildan yang tampak tegang itu.

“Wildan..!!” teriaknya. “kok ngelamun toh?” kata pak Mahmud setelah Wildan mengedipkan matanya. Wildan terkejut tentu saja. Sementara uneg-unegnya belum lepas juga. “ada apa toh, wil? Datang-datang, ucapin salam, langsung ngelamun, ada masalah, nak? Na sini, ngomong sama bapak!”, seru pak Mahmud yang langsung membuat Wildan menyunggingkan senyum. Pak Mahmud menyeretnya dan mengajaknya duduk di kursi yang berjejer di depan tokonya.

“ada apa?” tanya pak Mahmud lagi.

“Anu pak, saya…” Wildan pun menceritakan segala yang mengendap di hatinya. Tentang mukena dan bundanya juga keinginannya untuk bekerja. Pak Mahmud mendengarnya baik-baik dan setelah itu ia menghela nafas dan lantas tersenyum. Wildan tampak malu-malu ketika senyum itu terlihat ditujukan padanya. Pak mahmud menepuk pundaknya dan berkata.

“ya nggak apa-apa, nanti bapak kasih upah. Tapi apa serius kamu mau bekerja?”

“Iya pak, saya serius!” sergahy Wildan.

Hari itu pula ia menyandang pekerjaannya sebagai pengantar susu. Ia begitu bersyukur mendapatkannya. Pak mahmud sendiri terkesan dengan Wildan. Keinginannya begitu kuat dan ia sangat menyayangi bundanya. Esok sebelum sekolah ia harus mengambil susu dari peternakan dan mengantarnya ke toko pak Mahmud. Wildan memiliki waktu dua minggu lagi untuk bekerja sebelum hari ulang tahun bundanya tiba, ia membangkitkan semangat.

Keesokan paginya, Wildan buru-buru mengenakan seragam putih abu-abunya dan membopong tas meskipun itu baru pukul setengah enam pagi. Bundanya sedang mandi dan itu kesempatan baik karena bundanya tak perlu kepo kenapa ia berangkat pagi-pagi sekali. Ia berlari meski perutnya belum sempat terisi apapun, ia terlalu gembira dan semangat menuju toko pak mahmud terlebih dahulu. Disana pak mahmud meminjamkannya motor untuk bekerja. Wildan lebih gembira. Maka ia segera mengambil susu ke peternakan. Begitu lancar hari itu untuknya. Ia membawa empat tong susu ke toko pak mahmud dan pak mahmud tentu saja amat senang. Wildan mengembalikan motornya dan segera berangkat ke sekolah.

Ia tak terlambat tentu saja. Hari itu teramat lancar untuknya. Tak ada halangan apapun hari itu bahkan sampai ia pulang sekolah dan beringsut membantu ibunya memetik jamur di perkebunan milik pak Yusril. Menetik jamur sudah menjadi pekerjaan sampingan bundanya. Dan hari-hari berlalu penuh kelancaran bagi Wildan. Ia bersyukur karena bundanya juga tidak mengetahui rencananya. Rencana untuk memberlikan mukena impian bundanya. Ia tetap bersih kukuh bekerja pada pak mahmud meskipun suatu saat bundanya tahu dan melarangnya. Ia hanya ingin rekahan senyum dari bundanya.

Pagi selanjutnya seperti yang lalu. Pagi-pagi ketika bundanya mandi Wildan buru-buru meninggalkan rumah dan menuju toko pak mahmud lalu segera mengambil susu ke peternakan. Hari itu juga tanpa kendala, Wildan segera menuju sekolah seterlah menerima upah dari pak Mahmud. Bel masuk berbunyi, Wildan buru-buru masuk ke kelas. Namun tatkala ia duduk di kursinya. Seorang satpam datang dann memanggil-manggil namanya. Wildan mengangkat salah satu tangannya untuk menunjukkan bahwa dialah yang bernama Wildan. Dengan ekspresi datar satpam itu menyuruh Wildan untuk mengikutinya. Wildan mulai ingin tahu dan sedikit khaweatir. Ia tetap mengikuti satpam yang berbadan besar itu dan akhirnya terjawablah rasa ingin tahunya itu. Tampak wanita yang wajahnya sudah tidak muda lagi diluar gerbang sekolah. Tentu Wildan mengenalnya sebagai bundanya. Wildan terkejut diiringi sedih karena melihat wajah bundanya nampak sangat sedih. Ia mendekat dengan ketercekatan yang dalam, ia khawatir, menyapa bundanya sampai mengunjunginya di sekolah. Dengan dibatasi pagar besi hitam itu, Wildan berbicara.

“Bunda, bunda ngapain kesini?” tanya Wildan dengan nada hendak menangis karena ada kesedihan yanhg begitu kentara terlukis di wajah bundanya. Kemudian bundanya memberikan sekantung kresek dengan satu kotak berisi makanan.

“Ini wil, kamu nggak pernah sarapan hari-hari ini. Bunda jadi sedih kalo porsi sarapan kamu tersisa di meja”. Ujar bundanya tampak lesu sembari memberikan bungkusan tersebut. Dengan segala rasa bersalahnya Wildan mengulurkan tangannya dan emngambil bungkusan sarapannya. Matanya mulai perih karena menahan bendungan air mata yang hampir jebol. Dengan suaranya yang tercekat dan bergeta, Wildan berkata.

“Maafin Wildan, bunda. Bukan maksud Wildan buat nggak sarapan masakan bunda, tapi…”

“Kenapa pagi-pagi sudah menghilang, nak? Pagi bunda jadi sepi tanpa kamu…” sergah bundanya menyela. Sebelum kata-kata Wildan selesai. Bundanya lalu menangis. Wildan tak tahan. Ia buru-buru meraih tangan bundanya dari sela-sela pagar dan jebol lah bendungan air matanya itu. Wildan begitu merasa bersalah atas apa yang telah diperbuatnya. Sudah hampir satu minggu ia meninggalkan bundanya di pagi hari dan tanpa menyadari bahwa sang bunda kesepian. Bundanya pun baru memberinya peringatan itu. Air mata yang bercucuran itu dihapusnya dan Wildan berkata.

“Maafkan Wildan bunda, seandainya bunda hari ini kesepian, Wildan akan minta izin buat gak sekolah hari ini…” sergahnya ingin bertanggung jawab.

“tidak, tidak wil. Bunda Cuma ingin kamu gak lupa sarapan. Sekarang kamu masuk ke kelas! Pak satpam, terima kasih ya…” jawab bundanya pada Wildan sekalian ucapan pada pak satpam. Bundanya lalu berbalik badan dan melangkah menjauhi sekolahan. Kesedihan Wildan mengapung betul-betul dalam hatinya melihat bundanya tampak layu karena dirinya. Ia lalu menjauhi pagar dan menuju kelasnya.

 

Siang yang panas itu, Wildan berjalan sempoyongan dengan begitu banyak fikiran yang membebani. Tak tahu akan menempuh kemana tapi kakinya bergerak ke pasar dan ia begitu dekat dengan toko pak Mahmud. Pak Mahmud yang melihat Wildan begitu lesu dan tampak seperti turis tersesat itu buru-buru menggelengkan kepala lalu berteriak memanggilnya. Wildan menoleh sesaat. Kemudian mengulum senyum pada pak Mahmud yang melambai ke arahnya dan menyuruhnya untuk mendekat. Setelah di depan toko pak Mahmud, Wildan duduk di depan pak Mahmud dengan ketenangan yang dibuat-buat.

“Ada apa pak?” tanya Wildan sok baik-baik saja.

“Haha..” balas pak Mahmud. “Seharusnya saya lho yang tanya, kamu lagi ada apa kok pucet gitu, melas bener?” ujar pak Mahmud dengan senyum perhatian yang tak asing lagi bagi Wildan.

“Oh, ndak ada apa-apa pak, saya lagi baik kok!” bohong Wildan.

“Kalau bohong dipelihara, nanti bawaannya bohong terus wil!” sindir pak mahmud yang langsung membuat Wildan terkejut. Wildan mulai gugup. Tentu saja ia tidak ingin berbohong lagi karena sudah sekali gagal di hadapan pak Mahmud. Tapi ia juga tak ingin mengutarakan uneg-uneg untuk saat ini.

Tidak untuk saat ini.

Kemudian ia bangkit lalu berpura-pura mengintip jam tangannya yang bekas ayahnya dulu dan berkata lengkap dengan senyum pura-puranya. “Eh, pak. Udah siang. Wildan mau pulang. Sudah ditunggu bunda. Assalamu’alaikum” katanya berpamitan dan langsung menjauhi toko susu pak Mahmud. Pak Mahmud menggeleng lagi dan tersenyum sendiri lalu kembali ke pekerjaannya. Wildan memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Tak ada yang lebih ingin dilakukannya selain istirahat. Pikirannya rada kacau, mungkin ia lelah.

“besok bagaimana ya sarapannya? Tanya suara dalam kepalanya ketika ia menempuh perjalanan menuju rumahnya. Jika ia menunggu sarapan dari bundanya siap, ia akan terlambat bekerja dan pasti ia juga akan terlambat sekolah. Wildan memijat-mijat keningnya yang tampak pening itu. Sembari pelan-pelan berjalan, ia mulai mencoba untuk mencari ide. Ia tak ingin melukis kesedihan diatas wajah bundanya lagi. Hal itu sangatlah… tidak disukainya. Ia harus menemani bundanya esok dan tidak akan membiarkan bundanya mengalami pagi yang kesepian.

Tapi kau harus bekerja.

Betul, Wildan memang harus bekerja. Dan ia bekerja ketika pagi. Apabila ia pergi ke toko pak mahmud seusai sarapan siap, maka ia akan terlambat ke sekolah. Ia pusing, pusing sekali. Tatkala ia sudah tiga langkah mendekati rumahnya, ia mendecakkan lidah dengan keras lengkap dengan wajah pasrahnya. Wildan bergumam.

“Hemb, aku tidak bekerja untuk besok!”

 

Pagi itu Wildan menyantap sarapan buatan bundanya amat lahap. Sambil makan ia mengintip wajah bundanya yang disanaada rekahan senyum yang membuat hati Wildan begitu tentram meskipun sebenarnya dia tertekan atas pekerjaan yang ia tinggalkan. Usai sarapan ia buru-buru menyandang ransel coklat lusuhnya dan mencium punggung tangan bundanya sambil berpamitan. Senyum bundanya yang bercahaya itu masih diintipnya ketika bundanya masih melihatnya dari depan pintu. Wildan merasa lebih tenang dan senang. Tetapi ketika Wildan setengah jalan ke sekolahannya, fikiran tentang kerja paginya kembali menghantuinya. Uang tabungan hasil kerja yang belum banyak dan lima hari lagi adalah kedatangan hari ulang tahun ibunya.

Kenapa dia merasa diliputi keputus asaan hari itu. Deadline alias hari ulang tahun ibunya terlalu singkat. Dan siang setelah sekolah Wildan pergi ke toko pak mahmud dan meminta maaf karena tidak bisa bekerja pagi tadi. Pak mahmud memakluminya dan memahami keadaan Wildan serta bagaimana perasaan Wildan ketika melihat bundanya sedih.

“Yaudah, kamu bekerja siang saja ya wil!” sergah pak mahmud mengganti jam kerja Wildan. Wildan pun mengulum senyumnya.

“Tidak perlu” tiba-tiba satu suara beda membalas. “Terima kasih pak mahmud. Anak saya memang ada-ada saja kelakuannya”. Wildan terkejut setengah matimelihat bundanya dengan senyum tipuan membalas perkataan pak Mahmud.

Gawat.

Wildan hanya bisa tercekat akan kedatangan bundanya yang tiba-tiba. Ia merasa peluru sudah tepat menembus jantungnya. Ia hanya bisa memandang bundanya dengan aliran darah yang sepertinya telah berhenti. Jantungnya berdegup kencang sekali. Ia ketahuan. Ketahuan telah melakukan hal yang tidak diinginkan bundanya. Wildan hanya terdiam mematung dengan lidah yang tergulung.

“Ayo pulang, Wildan. Maaf pak Mahmud sudah merepotkan, Assalamu’alaikum”, bundanya segera menggeretnya pulang dengan genggaman yang tiada longgarnya setelah pak Mahmud menjawab salam bundanya.

Sampai di rumah, Wildan tunduk setelah bisa menebak air mata kemarahan yang menggenang di kedua mata bundanya. Ia merasa dunianya sudah berakhir.

“Kenapa tidak bilang sama bunda? Kenapa kamu kerja diam-diam tanpa izin dari bunda? Jawab nak. Jawab!” kata bundanya dengan volume kerasnya yang mampu membuat hati Wildan bergetar. Wildan membisu dalam kepasrahannya!

“Jadi selama ini kamu melancong pagi-pagi dari rumah, tidak sarapan dan tidak pamitan. Bunda kecewa, bunda marah sama kamu. Tugas kamu sekolah, nak. Sekolah! Biarkan bunda yang bekerja!” teriak bundanya sambil menangis-nangis. Dengan cepat, Wildan membalas, amarahnya meledak-ledak tak tertahankan.

“Bunda nggak pernah ngerti. Hidup kita ini nggak kaya bunda, Wildan gak bisa membiarkan bunda banting tulang sendirian. Wildan kasihan sama bunda, Wildan sayang sama bunda dna kita nggak punya ayah. Wildan sudah dewasa bunda. Wildan ngelakuin semua ini semata-mata buat bunda. Suatu saat bunda akan mengerti..”, bantah Wildan dengan emosi yang menggebu-gebu dan eksedihan yang merobek perasaannya. Tangisannya lebih deras dari air hujan. Namun kegatalan di hatinya itu telah meninggalkan luka yang perih dan berdarah. Ia berjalan penuh amarah menuju kamarnya dengan api-api yang disekeliling tubuhnya. Wildan lalu menutup pintu dengan membantingnya. Seketika itu api-api disekeliling tubuhnya padam, tergantikan dengan tetesan-tetesan air mata yang membasahi tubuhnya. Air mata penyesalan karena membantah bundanya yang sedih mentah-mentah.

Tiba-tiba ia terfikirkan kembali tentang mukena yang diimpikan bundanya di pasar sekar. Wildan merasa semua telah berakhir dengan begitu mudah dan menyakitkan. Rencananya gagal sudah untuk sebungkus kado yang diperuntukkan pada bundanya itu. Mungkin ia telah menyerah karena sepertinya tak ada lagi jalan yang bisa ditempuhnya. Wildan benar-benar sudah merasa kehilangan segalanya. Tak ada satupun yang dapat difikirnya. Tak satupun yang dapat dilakukannya. Wildan menghempaskan diri di tempat tidurnya, memejamkan mata dan berharap segalanya adalah mimpi semata.

***

Dua hari lagi adalah hari yang seharusnya menjadi akhir dari rencananya. Berhubung selama tiga hari yang lalu tak ada pekerjaan yang disungguh-sungguhinya selain diam di hadapan bundanya, Wildan merasa lusa adalah hari yang akan paling mengecewakan seumur hidupnya, ia tak ingin kejadian yang lalu – siang ketika ia membantah bundanya terulang dengan bekerja kembali pada pak mahmud. Hari kosongnya itu dihabiskannya dengan kekosongan di dunia fikirnya. Namun ketika bundanya seperti hendak ke pasar, Wildan membuntutinya. Entah apa tujuannya, tapi ia ingin begitu saja. Wildan membuntuti bundanya diam-diam dan tepat seperti dugaannya. Bundanya pergi ke pasar sekar untuk mengintip kembali mukena berenda indah yang ingin dimilikinya.

Akan tetapi pemandangan tersebut malah menjadikan suasana hatinya lebih terpolusikan. Rasanya ingin menangis dan marah. Namun hal itu dipendamnya begitu saja. Wildan kembali pulang. Tetapi yang terjadi malah sebuah undangan dari pak Mahmud. Pak Mahmud yang sudah mengerti keadaan dan apa yang terjadi pada Wildan mulai memiliki hati untuk membantu bocah lima belas tahun yang malang itu. Wildan dipanggilnya untuk itu. Dengan sunggingan senyum yang tulus dengan tujuan agar Wildan merasa lebih tenang, penjual susu tersebut memberikan pinjaman uang sebesar lima ratus ribu rupiah. Meskipun sebenarnya pak Mahmud sendiri tidak berharap Wildan mengembalikan uang tersebut. Wildan awalnya menolah karena merasa tidak sanggup untuk mengembalikan uang tersebut. Tapi pak Mahmud berhasil membuat rencana itu masuk otak Wildan lagi dan Wildan pun menerima pinjaman tersebut.

Hari ulang tahun bundanya datang meski belum satu kata pun terlontar dari mulutnya pada sang bunda sejak kejadian yang ingin dilupakannya lima hari lalu. Tanpa sepengetahuan bundanya, Wildan pergi ke pasar sekar membeli mukena untuk bundanya lalu membungkusnya elok-elok. Dari uang pinjaman pemberian pak Mahmud terseisa 200 ribu. Dan malang sekali, karena hal tersebut tiba-tiba jadi problematika yang tak terduga. Ketika melewati pasar sekar untuk memberikan uang kembalian pada pak Mahmud, tiba-tiba seorang wanita telah kehilangan uang yang juga sebesar dua ratus ribu. Melihat Wildan dengan uang dua ratus ribu digenggamnya, orang-orang di pasar mengeroyoknya dan menuduhnya sebagai pencuri. Wildan yang tidak tau apa-apa terkapar dengan ketidak bersalahnya itu.

Pak Mahmud yang mengenalnya di tengah kerumunan orang-orang langsung menghentikan kebrutalan yang terjadi. Dengan iba ia meletakkan tubuh Wildan yang tak berdaya di pangkuannya. Saat itu Wildan masih sadar dengan luka-luka yang memar dan perih.

“Pak… pak Mah… Mud… Kasihkan .. Mu.. Kena… In.. Ini ke… Bun… da… dan.. in… ini… kem… kemba… lian… uang kema… rin… ma… ma… makasih pak.. mah.. mud”, rintihnya dan selanjutnya Wildan sudah tidak sadarkan diri lagi. Warga itu telah salah orang. Pak mahmud menjelaskan keberadaan Wildan dan orang-orang meninggalkan pak mahmud dan Wildan dengan rasa bersalah yang dalam Pak mahmud segera menggotong tubuh Wildan ke rumah sakit.

****

Bau apa ini? Bau yang pahit dan dimana dirinya berada? Wildan mulai tersadar setelah kemarin jatuh pingsan di tengah keadaan yang mengenaskan. Bundanya disana dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Rintihan kecil Wildan membuat sang bunda gugup dengan keadaan anaknya.

 

Oleh : Tatiana Zhia’ Sarin

*) Santriwati Pondok Pesantren Al-Ishlah

Sendangagung – Paciran – Lamongan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *