Oleh Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag. MA.,
Ketua STIQSI Lamongan dan Sekretaris PDM Lamongan 2022-2027.
Bulan ini, Agustus 2023, adalah bulan Kemerdekaan RI ke-78. Bertepatan dengan bulan Agustus Tahun Masehi ini, Tahun Hijriyah memasuki bulan Safar, bulan kedua. Kita mempercayai bahwa kejadian pada waktu bukan dan tahun, bukanlah kebetulan. Semuanya telah berada dalam sunnatullah, ketetapan Allah.
Dalam kaitan ini, menarik bila kita berefleksi atas rasa syukur kita terhadap HUT Kemerdekaan RI ke-78 ini dengan merujuk kepada al-Qur’an yang menyebutkan tentang model bersyukurnya Nabi Ibrahim As., Bapak Monoteisme, Bapak Tauhid, Bapak Agama Hanif.
Tentu ingatan tentang Nabi Ibrahim As., berkaitan dengan rasa syukur Kemederkaan RI ini juga bukan suatu kebetulan. Karena ada sangkut pautnya dengan muraja’ah bacaan dan hafalan serta pemahaman atas al-Qur’an Surah al-Nahl ayat 120-121 dipahami sebagai munasabat dengan al-Qur’an Surat al-Baqarah 126 dan 258, serta Surah al-Anbiya’ 58-70.
Disebutkan dalam Surah al-Nahl: 121 bahwa Nabi Ibrahim As., adalah pribadi yang selalu bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah, dengan cara taat tunduk kepada-Nya dan hanif terhadap syari’at-Nya.
Dua Bentuk Cara Bersyukur Nabi Ibrahim As.
Nabi Ibrahim As., adalah seorang Nabi yang disebut tegas di al-Qur’an Surah al-Nahl: 121, sebagai Nabi yang Syakiran Li An’umih, yang selalu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Ada dua bentuk refleksi syukur Ibrahim, yaitu afirmasi gerakan amaliyah konstruktif dan afirmasi gerakan kritik kebijakan politik.
Yang pertama ditunjukkan oleh afirmasinya dengan amaliyah taat tunduk (qanit), perilaku tegak lurus dengan jalan agama yang lurus (hanif) tanpa kesyirikan. Afirmasi amaliyah konstruktif ini ditindak-lanjuti Ibrahim dengan cara membangun negeri dan mendoakan bangsanya agar menjadi negeri yang aman, makmur sejahtera (baladan aminan), yang berlimpah kekayaan dan penghasilannya, seperti disebutkan dalam Surah al-Baqarah: 126.
Yang kedua ditunjukkan dengan afirmasi gerakan kritis atas kebijakan politik penguasa. Seperti disebutkan dalam Surah al-Baqarah: 258 dan al-Anbiya’: 58-70. Nabi Ibrahim meyakini bahwa orang yang dhalim dan tidak takut kepada Allah adalah orang yang tidak bertauhid. Tiadanya tauhid pada diri seseorang akan merusak tatanan, dan pelakunya tidak memiliki kepedulian terhadap kemaslahatan serta kemakmuran rakyatnya. Dengan kekuasaannya orang tersebut akan melahirkan kebijakan yang merugikan dan membahayakan rakyatnya.
Ibrahim mengkritik kebijakan Namrud yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Bahkan Ibrahim As., melawan dengan tegas dan keras penyembahan berhala serta ketundukan para pembantu Namrud kepada raja lalim yang menyekutukan Allah Swt. tersebut.
Syukur Ibrahim yang model kedua ini merupakan afirmasi gerakan kritik kebijakan politik penguasa. Syukur ini dipilih Ibrahim As., karena kebijakan Namrud yang berkuasa pada jaman itu bener-bener sewenang-wenang, tanpa mengindahkan kepentingan rakyat. Siapapun yang tidak beragama berhala sebagaimana Namrud putuskan sebagai ideologi Negara akan dihabisinya. Tentu ini adalah penguasa yang berbahaya dan meresahkan.
Refleksi Syukur Kemerdekaan sebagai Afirmasi Berpolitik
Salah satu bentuk refleksi syukur sebagai afirmasi berpolitik yang dicontohkan Nabi Ibrahim adalah mengkritisi pemimpin. Kemerdekaan suatu bangsa dan negeri sudah seharusnya memakmurkan rakyatnya, menyediakan rasa aman dan pendidikan yang mencerahkan. Bukan malahan bergabung dengan oligarki kekuasaan untuk menghancurkan dan membungkam kritik yang disampaikan rakyat.
Sebagaimana Ibrahim As., mengkritisi Namrud, kritik terhadap pemimpin merupakan bentuk kritik yang baik. Karena raja atau penguasa yang dhalim, dan secara sengaja menyokong penyembahan berhala (sebagai bentuk kesyirikan alias simbol kebijakan), benar-benar tidak tergerak untuk memihak kepentingan rakyat yang menyokongnya.
Nabi Ibrahim mengkritisi pemimpin yang demikian, sebab tugas seorang pemimpin adalah membuat rakyatnya makmur, menjadikan masyarakat maslahat dan sejahtera. Bukan melakukan kedhaliman. Sehingga apabila ketika kita mendapati pemimpin yang melenceng, maka kita perlu mengkritisinya.
Sebagai implementasi bentuk refleksi syukur dalam afirmasi berpolitik ala Nabi Ibrahim sebagai warga negara Indonesia, tentunya terdapat cara mengkritisi pemimpin yang sesuai koridor konstitusi. Yaitu dengan menyampaikannya kepada dewan perwakilan rakyat atau mengkritisi langsung melalui media publik.
Refleksi Syukur Kemerdekaan sebagai Afirmasi Gerakan Konstruktif
Di samping mengkritisi pemimpin yang dhalim, Nabi Ibrahim juga mencontohkan refleksi syukur dengan melakukan hal yang positif untuk kepentingan negara sebagai afirmasi gerakan konstruktif berbangsa dan bernegara. Sebagaimana beliau berdoa kepada Allah “Rabbī ij’al hādzā baladan āminan” yaitu agar Allah menjadikan negara menjadi negara yang aman dan tentram.
Sebagai implementasinya adalah dengan turut serta membangun negeri dan melaksanakan apa saja yang dapat kita lakukan untuk menyumbangkan pembangunan dan kemajuan negara. Misalnya membangun jembatan dengan menyumbang semen, memajukan pendidikan tanpa bantuan pemerintah dengan melakukan proses pendidikan kepada anak generasi bangsa.
Maka, apabila kita meniru apa yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As., sebagai bentuk syukur, Negara Indonesia tentunya akan menjadi negara yang makmur, sejahtera, dan sentosa dengan penduduknya yang selalu memegang api tauhid sebagai pilar gerakannya.
Reporter: Faiq El Meida
Editor: Fani Firda Yuniarti
Proofreader: phzdr