Kisah Dibalik Penjara Suci

Oleh Mila Marthasari, Alumni tahun 2020, Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Teng…teng…teng… terdengar suara bel yang menandakan waktu bangun untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah di masjid. Seluruh santriwati terbangun dari mimpi panjang mereka untuk berbegas mengambil air wudhu dan berangkat ke masjid. Mereka buru-buru melaksanakannya karena beberapa menit lagi bel akan berbunyi kembali, pertanda bel keterlambatan.


Barang siapa yang terlambat, maka akan mendapatkan hukuman dari pengurus. Bagi mereka yang rajin, maka akan selamat dari hukuman, dan bagi mereka yang malas, maka akan merasakan hukuman berjalan jongkok beberapa meter.

Aku menjadi salah satu diantara beberapa santri yang terlambat dan sudah menjadi makanan setiap hariku.


“Nina….! Anti marra (kamu lagi).


Panggilan dari salah seorang pengurus yang menandakan bahwa aku disuruh hukuman jongkok.

Afwan Ukhti (Maaf Kak).” Jawabku sambil masih mengantuk.


Usai sholat shubuh, kegiatan selanjutnya yakni muhadatsah. Sebenarnya kegiatan muhadatsah dan muhadloroh merupakan kegiatan yang tidak aku sukai, karena kedua kegiatan itu menuntutku untuk menghafalkan kosa kata dan teks pidato berbahasa Arab atau Inggris. Tapi ya sudahlah, aku ikhlas mengikuti dua kegiatan tersebut.

Tiga tahun sudah aku menjalani kehidupanku sebagai seorang santriwati di sebuah Pondok Pesantren di desa bambu ini. Aku tergolong sebagai santriwati yang memiliki predikat keterlambatan terbanyak. Wajar sekali bila aku sering merasakan hukuman dari pengurus, karena aku terlambat mengikuti kegiatan satu dan merantak ke kegiatan lainnya.

Saat itu aku duduk di bangku kelas IX, selepasnya aku akan lulus dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Banyak dari temanku yang akan melanjutkan pendidikan SMA di luar, tapi aku sendiri lebih memilih untuk melanjutkan lagi di pondok pesantren ini.


Entah mengapa aku merasa nyaman dan betah tinggal disini, meski aku harus merasakan hukuman keterlambatan setiap harinya. Hukuman yang aku terima bukan tergolong pelanggaran yang berat. Aku tidak pernah mendapatkan hukuman yang berat.


Sata liburan kelulusan, aku tidak disibukkan seperti teman-temanku lainnya yang mendaftarkan diri ke sekolah yang mereka inginkan. Aku hanya tinggal menunggu tanggal untuk tes seleksi MA Al-Ishlah dan beberapa minggu berikutnya aku melakukan daftar ulang. Aku kira banyak sekali temanku yang tidak kembali untuk bergabung bersamaku menuntu ilmu di pondok yang kusebut pondok bambu ini. Ternyata masih banyak diantara mereka yang masuk kembali karena beberapa alasan.

Bagiku tidak ada rasa jenuh dan bosan apalagi kapok, karena mendapatkan hukuman. Menurutku hukuman itu memang pantas diberikan untuk melatih kedisiplinan dan tanggung jawab usai melakukan kesalahan.

Tak ada bedanya saat aku di tingkat SMP. Saat SMA pun aku masih sama sering mendapat hukuman karena terlambat ke masjid, ke sekolah, muhadatsah, muhadloroh dan kegiatan lainnya. Hingga semua pengurus selalu hafal denganku, karena terlalu sering terlambat kegiatan.

Suatu hari, aku akan berangkat ke ekstrakurikuler pramuka. Selepas sholat ashar, seluruh temanku berbegas bersiap-siap untuk berangkat sebelum bel keterlambatan berbunyi. Berbeda denganku yang memilih untuk bersantai-santai terlebih dahulu baru setelah mendengar bel pertama aku berbegas memakai atribut pramuka.

Ya… sudah pastilah aku terlambat lagi. Aku pun mendapat hukuman berjalan jongkok dari depan gerbang hingga jalan menuju maidan (lapangan). Entah sampai kapan kebiasaan terlambatku ini bisa kuhilangkan. Bahkan sebentar lagi aku juga akan menjadi pengurus OPPI.

Hingga di suatu malam, aku merenung, memikirkan diriku sendiri yang stuck tidak ada perubahan selama ini. Tiba-tiba teringat pesan dari Sang Kyai, bahwa kedisiplinan itu penting. Orang yang disiplin artinya orang yang mampu untuk menghargai waktu. Orang yang bisa mengahargai waktu termasuk orang yang beriman. Lalu aku berfikir, benar juga ya kalau orang yang sukses kebanyakan adalah orang yang disiplin. Karena dia bisa melakukan pekerjaan sesuai dengan waktunya.


Dari situlah aku memberanikan diri untuk keluar dari zona nyamanku. Aku berusaha untuk selalu berangkat tepat waktu di setiap kegiatan. Sebisa mungkin tidak mau lagi merasakan hukuman jalan jongkok yang melelahkan itu. Aku harus bisa merubah diriku menjadi pribadi yang lebih baik. Toh, setelah ini aku akan menjadi pengurus yang pastinya akan menjadi panutan bagi santri lainnya. Beberapa hari kemudian aku berhasil memaksakan diriku untuk disiplin setiap ada kegiatan.


Bergantilah dari bulan ke bulan, saat ini aku menjadi pengurus yang mana aku memiliki amanah dan tanggung jawab yang cukup besar untuk membantu terlaksanakannya kegiatan di dalam asrama. Banyak suka duka yang aku jalani sewaktu menjadi pengurus.

Dulu, sewaktu aku masih menjadi santriwati, aku harus mentaati peraturan dari pengurus, aku sering membicarakan pengurus dibelakang bersama teman-temanku lainnya dan suka menggrundel saat dihukum.

Sekarang aku merasakan sendiri bagaimana menjadi pengurus. Tidak semudah yang aku bayangkan, setiap peraturan yang dibuat oleh pengurus merupakan hasil dari musyawarah yang sangat detail dan memakan waktu yang lama. Tak lain dengan tujuan kepentingan dan kenyamanan bersama dan sekiranya mudah dijalankan oleh para santriwati. Mereka menghabiskan dua malam hanya untuk merumuskan peraturan yang akan diberikan kepada pembina untuk disetujui.

Dari menjadi pengurus, aku belajar tentang organisasi. Bagaimana cara mendengarkan dan mengahargai pendapat orang lain, merasakan gotong-royong saat menjalankan program kerja dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Jika aku tidak berada di pondok pesantren, aku tidak akan merasakan nikmatnya mencari ilmu dan menjadi pengurus dalam satu waktu.

Alhamdulillah, setahun kemudian aku berhasil lulus dan diterima di salah satu Universitas di Surabaya. Semua pengalaman yang aku dapatkan di pondok pesantren akan menjadi kenangan tersendiri untukku.

Tidak akan aku jumpai lagi kenangan seperti itu, mulai dari merasakan hukuman jalan jongkok setiap hari, makan harus antri, mencuci baju sebelum shubuh, kehilangan hanger, merasakan setiap malam selalu merenung di masjid selepas sholat isya’ dan masih banyak lagi kenangan yang tidak dapat terulang lagi.


Segala proses yang sudah aku jalani di pondok menjadi bekal tersendiri bagiku. Terlebih pesan-pesan Sang Kyai yang masih aku ingat sebagai acuanku untuk menjalani kehidupan ini.

Terima kasih Al-Ishlah, untuk enam tahunnya yang sungguh berkesan dan terima kasih sudah mengajarkanku apa arti keikhlasan dan kesabaran.

Penyunting : Yeni Ika Septania

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *