INTELEKTUALITAS ADALAH SYARAT MENJADI PEMIMPIN #3

(Disadur dari Kuliah Subuh Kiai Dawam Saleh: Bagian Tiga)

Rabu, 7 Agustus 2021/28 Zulhijah 1442

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ:

Ilmu dalam bahasa Arab adalah “عِلْمٌ” atau “مَعْرِفَةٌ”. Beberapa istilah mengenai orang yang berilmu yaitu “عاَلِمٌ” atau “عَلِيْمٌ”. Untuk mengetahuinya diperlukan pelajaran sharaf. Keduanya  merupakan ism fa‘il yang antara satu dengan lainnya memiliki perbedaan. Di dalam ilmu sharaf derivasi “عاَلِمٌ” berasal dari:

 عَلِمَ-يَعْلَمُ-عِلْمًا-وَمَعْلَمًا-فَهُوَ عَالِمٌ-وَذَاكَ مَعْلُوْمٌ-اعْلَمْ-لَاتَعْلَمْ-مَعْلَمٌ مَعْلَمٌ

Di dalam bahasa Arab, kata “عاَلِمٌ” untuk ilmu apapun, baik ilmu umum IPA/ IPS. Untuk orang Indonesia seringnya “عاَلِمٌ” (alim) dipergunakan hanya untuk ilmu agama. Misalnya dikatakan, “Orang itu alim”, maksudnya biasanya sebagai sebutan untuk orang yang ahli ilmu agama saja. Kalau di Arab kata tersebut mencakup ahli dalam teknologi, IPS atau ekonomi. Kalau mengerti, mengetahui, namanya alim. Inilah perbedaannya.

Kemudian apalagi istilah bagi orang yang berilmu? Yaitu “عَلِيْمٌ” (ain, lam, ya, mim). Apa perbedaan antara “عاَلِمٌ” dengan “عَلِيْمٌ”? Di dalam ilmu sharaf ada yang dinamakan ismu sifah li al-mubalaghah. Al-mubalaghah artinya menyangatkan/ kesangatan. Jadi kalau “عاَلِمٌ” ismu fa‘il, artinya orang yang berilmu, tetapi “عَلِيْمٌ” untuk orang yang sangat berilmu. Hal demikian sama dengan “قَادِرٌ” yang artinya berkuasa, tetapi kalau “قَدِيْرٌ” sangat berkuasa atau Maha Kuasa. Ini anak-anak perlu tahu dengan belajar sharaf di pondok. Kelak dapat mengetahui apa beda antara “عاَلِمٌ” dengan “عَلِيْمٌ”. Kalau “عَلِيْمٌ” biasanya untuk Allah Swt., tetapi tidak seluruhnya. Di dalam Al-Qur’an untuk manusia juga “عَلِيْمٌ”, seperti nabi-nabi, umpamanya Nabi Yusuf as.

Dikatakan di dalam Al-Qur’an:

 قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ

Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.”[1]

Itulah Nabi Yusuf as. Begitupun dengan Nabi Ibrahim as. diberi oleh Allah Swt. seorang putra, namanya Nabi Ishak as. Juga disebutkan di dalam Al-Qur’an:

قَالُوْا لَا تَوْجَلْ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ

(Mereka) berkata, “Janganlah engkau merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang pandai (Ishak).”[2]

Kemudian kalau Nabi Ismail as. disebutkan dengan penyifatan yang berbeda:

فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ

Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).[3]

Jadi kalau “عَلِيْمٌ” orang yang sangat tahu, orang yang mengerti, orang yang pandai, tetapi “حَلِيْمٌ” adalah orang yang sangat penyabar. Kalau Nabi Ismail as. “غُلاَمٌ حَلِيْمٌ”, sedangkan Nabi Ishaq as. “غُلاَمٌ عَلِيْمٌ” (orang yang pandai).

Kemudian ada istilah lagi berupa ismu sifah li al-mubalaghah, yaitu “عَلاَّمٌ” (Maha Tahu), biasanya dipergunakan hanya untuk Allah Swt., seperti frasa “عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ”[4] (Maha Tahu Segala Yang Ghaib). Ini dari kata-kata “عَلِمَ-يَعْلَمُ”. Kalau “عاَلِمٌ” itu biasanya untuk manusia, sedangkan “عَلِيْمٌ” untuk Allah Swt., bisa juga orang-orang khusus seperti para nabi. Ini perlu belajar sharaf ‘ala wazni fa‘iil (tentang bentukفَعِيْلٌ ). Kemudian “عَلاَّمٌ” juga ismu sifah li al-mubalaghah yang biasanya hanya untuk Allah Swt. Seperti umpamanya “غَفَّارٌ”, artinya Maha Pengampun. Kalau “غَافِرٌ” yang memberi ampun. Contoh lain dari ismu sifah li al-mubalaghah adalah “غَفُوْرٌ”, ‘ala wazni fa‘uul (tentang bentuk فَعُوْلٌ), juga berarti Maha Pengampun.

Kemudian ada juga istilah untuk manusia/orang yaitu “عَلَّامَةٌ” (orang yang sangat pandai). Untuk orang ini ditambahkan ta’ marbuthah. Kalau “عَلاَّمٌ” khusus untuk Allah Swt., tetapi kalau “عَلَّامَةٌ” untuk orang yang sangat pandai. Seperti Imam Al-Ghazali itu juga disebut “الْعَالِمُ الْعَلَّامَةُ”. Yang lainnya seperti Imam Syafi‘i, Imam Maliki, Imam Hanbali, Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah. Di Indonesia dulu ada Pak Hamka, juga “عَلَّامَةٌ” (orang yang sangat pandai). Jadi istilah-istilah ini anak-anak yang belajar sharaf di pondok supaya mengerti.

Kemudian istilah “عُلَمَاءُ”, jamak dari “عَالِمٌ”. Di Indonesia sering kali, “Dia itu ulama”, itu sebenarnya keliru. Karena ulama (عُلَمَاءُ) adalah jamak, artinya orang-orang yang berilmu. Kalau kita ulama (عُلَمَاءُ), tetapi kalau dia alim (عَالِمٌ). Ini sering menjadi keliru. Begitu juga kalau tidak mengerti bahasa Arab—sharaf—sampai ada seorang mubalig keliru. Ada istilah “كَافِرٌ”, “كُفَّارٌ”, “كَفَّارٌ”, “كَافِرُوْنَ”, “كَافِرِيْنَ”, tetapi tidak mengerti perbedaan satu dengan lainnya. Kalau anak-anak kelak menjadi mubalig dan tidak mengerti akan ditertawakan oleh santri-santri, pelajar-pelajar yang mengerti bahasa Arab. Istilah “كَافِرٌ” itu untuk satu orang, kemudian jamak dari “كَافِرٌ” bisa tiga, “كَفَّارٌ”, “كَافِرُوْنَ”/“كَافِرِيْنَ” dan “كَفَرَةٌ”. Ini supaya diketahui.

Seperti “طَلَبَةٌ”, jamak dari “طَالِبٌ” (pencari ilmu), digunakan untuk laki-laki meskipun ada ta’ marbuthah-nya. Jamak dari “طَالِبٌ” ada tiga, “طُلاَّبٌ”, “طَالِبُوْنَ”, “طَلَبَةٌ”. Pun sama dengan “كَافِرٌ”  “كُفاَّرٌ”, “كَافِرُوْنَ”, “كَفَرَةٌ”. Seperti bunyi ayat:

 اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ࣖ

Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka.[5]

Kata “الْفَجَرَةُ” jamak dari “فَاجِرٌ” (orang yang durhaka). Kemudian ada “كَفَّارٌ” terdiri dari kaf, alif, ra, bisa dibaca “كُفَّارٌ”. Kalau “كُفَّارٌ” itu orang-orang yang kafir, tetapi kalau “كَفَّارٌ” itu satu, orang yang sangat kafir. Ini anak-anak perlu tahu. Itu ismu sifah li al-mubalaghah.

Kalau orang yang tidur “نَائِمٌ”, sedangkan yang suka tidur “نَوَّامٌ”. Begitulah. Kalau orang yang tertawa “ضَاحِكٌ”, kalau yang suka tertawa “ضَحَّاكٌ”. Sampai ada nama orang Dhahak karena suka tertawa. Kalau orang yang tersenyum “مُبْتَسِمٌ”, kalau yang suka tersenyum “بَسَّامٌ”. Ini perlu diketahui oleh anak-anak. Contoh lagi kata “عَارِفٌ”, artinya orang yang tahu. Namun ada istilah “عَرَّافٌ”, yaitu orang yang sangat tahu, dari wazan (bentuk) kata “فَعَّالٌ”, tetapi bisa juga berarti paranormal. Jadi paranormal dalam bahasa Arab adalah “عَرَّافٌ”. Kalau ini dicatat itu lebih baik. Karena penting sekali. Jarang orang menerangkan ini. Sampai saya mendengar tingkat mubalig tidak mengerti apa beda antara “عَالِمٌ”, “عَلَّامَةٌ” dan “عَلاَّمٌ”. Sampai saya pernah di suatu pondok, seorang protokol menyebutkan “Dia adalah seorang ‘aliim ‘allaam (العَلِيْمُ العَلاَّمُ)”, padahal sangat keliru sekali. Dikarenakan protokolnya memuji-muji Kiainya sampai tersebut demikian. Yang benar itu “الْعَالِمُ الْعَلَّامَةُ”. Itu saja—sebutan ‘allaamah—kalau sudah betul-betul terbukti ilmunya sangatlah luas. Ini perlu diketahui bebarapa istilah dari kata-kata seperti “عِلْمٌ”, “عُلَمَاءُ”, dsb. Ada yang keliru dan tidak tahu. Anak-anak di pondok supaya mengerti dan mengetahui itu.

Baik, demikianlah.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


[1] Al-Qur’an, 12: 55.

[2] Al-Qur’an, 15: 53.

[3] Al-Qur’an, 37: 101.

[4] Al-Qur’an, 5: 109, 116, Al-Qur’an, 9: 78.

[5] Al-Qur’an, 80: 42.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *