Oleh Muhammad Afiruddin
Language is practice. Itulah ungkapan yang sering berdengung di telinga kita ketika membicarakan tentang bahasa. Di pondok pesantren Al-ishlah praktek berbahasa baik bahasa arab maupun bahasa inggris sudah menjadi makanan sehari-hari. Meskipun begitu, tidak serta merta membuat nilai pelajaran bahasa seluruh santri menjadi bagus. Maklum saja, pondok ini tidak hanya mempelajari itu tapi juga ilmu-ilmu umum. Terlepas akan hal itu, bahasa di pondok ini tetap penting mengingat ungkapan bahwa al-lughotu taajul ma’had (bahasa adalah mahkota pondok).
Kita tidak merasa asing lagi bahwa mahkota adalah gelar yang sangat berharga bagi seorang raja maupun ratu. Tanpa mahkota, seorang raja maupun ratu itu hanyalah orang biasa seperti yang lain. Jadi, ibarat mahkota, bahasa adalah tanda bahwa orang itu layak mengemban kepemimpinan di suatu tempat. Sebab orang yang pandai bahasa tentunya memiliki komunikasi yang baik terhadap orang lain. Lebih-lebih orang itu pandai dalam bahasa arab maupun inggris, tentu saja koneksi orang tersebut akan lebih luas daripada orang yang tidak pandai bahasa arab maupun inggris.
Bahasa adalah milik kita semua
Mungkin sebagian dari kita memiliki pikiran bahwa mempraktekan bahasa arab dan bahasa inggris dengan baik dan benar hanyalah bagi mereka orang-orang yang memiliki kepentingan tanggung jawab di dalamnya seperti OPPI bagian bahasa. Padahal ketika belajar sesungguhnya hasil belajar itu akan kembali pada diri kita sendiri. Dalam hal ini praktek berbahasa seharusnya bukan hanya ketika ada bagian bahasa ataupun ustadz. Ketika ada bagian bahasa maupun ustadz justru itu adalah waktu kita untuk bertanya ketika tidak tahu atau bingung dalam mempraktekan bahasa dengan baik dan benar.
Mengingat kita sebagai manusia yang sering lupa, dalam belajar bahasa, praktek menjadi pilihan utama sebagai jawaban agar tidak lupa. Selain menulis di buku catatan sebagai upaya agar tidak lupa, praktek juga sangat memudahkan kita dalam mengikat kata-kata yang baru kita ketahui. Karena hal ini sering terlupa di antara kita. Bukan karena kita tidak bisa berbahasa, akan tetapi lebih kepada sejauh mana kita mengetahui kata-kata yang baru itu dengan cara menuliskan dan mempraktekannya dalam keseharian. Jadi tunggu apa lagi? Tidak ada cara instan untuk mahir berbahasa, yang ada hanyalah mie instan yang siap disajikan. Bukankah begitu?
Meskipun pondok ini menggunakan bahasa arab dan inggris sebagai komunikasi sehari-hari tapi tidak menutup kemungkinan ada bahasa lain selain dua bahasa tersebut. Dalam menghadapi hal ini, lingkaran pertemanan sangat berpengaruh terhadap kualitas bahasa kita. Bukan berarti kita tidak boleh berteman dengan mereka yang tidak mahir dalam berbahasa, namun yang dikhawatirkan adalah ikut terjerumus ke dalam lingkaran mereka yang sudah menganggap bahwa al-lughotul taajul ma’had itu sudah tidak ada. Akan tetapi sebaliknya ketika kita mampu membuat perubahan dalam lingkaran tersebut, justru hal itu sangat perlu dilakukan dan digencarkan karena dengan begitu al-lughotul taajul ma’had itu akan tetap ada dan tumbuh mekar, semekar bunga mawar di taman pintar.
Rumus lancar mahir berbahasa
Mahkota itu akan semakin berkilau manakala orang yang memakainya semakin percaya dan taat dengan ketentuan yang telah ada, maka apa yang dilakukannya akan membuahkan kebaikan kedepannya. Sebaliknya, semakin ia tidak percaya dan tidak taat dengan ketentuan yang telah ada, maka kilauan mahkota itu akan memudar dan bahkan bisa saja hilang. Bahasa dengan ketentuannya yaitu dari mengetahui (bisa dari membaca ataupun mendengarkan) lalu mempraktekannya niscaya akan lancar dengan sendirinya. Karena begitulah rumusnya. Semakin banyak kata-kata yang diketahui tapi tidak ada praktek setelahnya, lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Begitu pula sebaliknya, ketika telah banyak mengetahui kata-kata baru kemudian diikuti dengan praktek secara langsung, insyaallah bahasa itu tidak akan hilang bahkan akan semakin melekat kuat di dalam ingatan.
Supaya bahasa itu melekat kuat dalam ingatan, maka dalam prakteknya jangan hanya sekedar menggunakan ingatan dalam pikiran tetapi juga libatkan hati dalam tindakan praktek tersebut. Sebab ketika kita terlalu mengandalkan pikiran untuk mengingat, potensi untuk lupa juga akan semakin besar. Karena pikiran bisa saja diatur oleh nafsu dan nafsu hanyalah sesaat, maka solusinya adalah dengan mengaitkan antara pikiran dan hati. Sebab hati itu suci dan pada akhirnya kesucian itu akan membawa kepada kebaikan. Dengan mengaitkan antara pikiran dan hati tersebut menjadi satu kesatuan dalam mengambil tindakan, tentu kekuatan ingatan itu akan semakin kuat karena ditopang oleh hati dan pikiran.
Dan tak kalah pentingnya dalam praktek berbahasa adalah istiqomah. Jangan mudah putus asa. Ketika merasa putus asa karena tidak bisa dan merasa sia-sia, ingatlah bahwa banyak orang sukses yang ribuan kali percobaannya dengan trial and errornya baru bisa mendapatkan apa yang menjadi cita-citanya. Tidak ada kata tidak bisa selagi matahari masih terbit dari timur, jangan sia-siakan waktu yang ada. Kualitas diri kita ditentukan dari usaha diri sendiri bukan dari guru maupun orang lain. Mereka hanya membantu kita menuju ke sana. Dan akhirnya kualitas itu akan terlihat dengan sendirinya. Maka dari itu, kualitas dari al-lughotul taajul ma’had tergantung kita orang yang menjalankannya.