Akhlak Terpuji adalah Masa Depan Dunia

Oleh: Bilif Abduh. Alumni Ponpes Al-Ishlah 1998. Mengajar Bahasa Inggris di Yogya dan Penulis buku “The Power of Positive Thinking for Islamic Happy Life”.

Semakin bertambah maju zaman, maka semakin bertambah ilmu dan pengetahuan manusia. Generasi zaman now, anak-anak kita itu, jika dibandingkan dengan generasi zaman old, soal keilmuan dan pengetahuan tentunya levelnya lebih tinggi. Tapi ada paradoks yang terjadi. Peningkatan ilmu dan pengetahuan di zaman ini, tidak serta merta ditandainya meningkatnya akhlak terpuji (akhlaqul karimah).

Bahkan seringkali, yang terjadi sebaliknya. Betapa banyak di antara manusia hari ini yang cerdas dan pintar tapi justru menggunakan kecerdasannya itu untuk tujuan-tujuan yang merusak. Tentunya ini secara nyata telah menunjukkan adanya kemerosotan akhlak. Peradaban kita maju tapi sekaligus mundur. Barangkali inilah yang disebut sebagai jahiliyah modern itu.

Tidak Hanya Pikiran, Tapi Juga Akhlak

Mendidik generasi zaman now, tidak bisa meninggalkan pendidikan di ranah ini — akhlak. Atau yang sering disebut sebagai pendidikan karakter. Nabi Saw sendiri secara tegas dan jelas mengatakan bahwa pengutusannya sebagai nabi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (H.R. Bukhari).

Dulu, di awal-awal zaman modern, pendidikan akhlak terpinggirkan, karena banyak di antara kita yang lebih mementingkan pencapaian intelektual. Kecerdasan berpikir. Tapi kini kita semua sadar bahwa ternyata yang harus dididik dari manusia tidak hanya akal pikirannya saja. Tapi juga akhlaknya, karakternya.

Nabi Saw sudah sejak sekitar 14 abad yang lalu menekankah pentingnya pendidikan akhlak. Mengapa? Karena nanti di akhir zaman, segala sesuatunya bisa menjadi murah. Kecuali akhlak terpuji. Itulah yang langka dan tak ternilai harganya.

Memulai dengan Pembiasaan-Pembiasaan Kecil

Pendidikan akhlak tentunya harus dimulai sejak dini. Sejak masa kanak-kanak melalui pembiasaan. Pembiasaan yang mulanya sulit tapi lama kelamaan, justru pembiasaan itulah yang membentuk karakter atau akhlak seorang anak.

Pendidikan tersebut tidak harus dimulai dari hal-hal yang langsung besar. Kita bisa memulainya dari yang kecil-kecil dulu. Misal, pembiasaan mengucap salam, menghormati orang tua, menghormati tamu, makan dengan tangan kanan, berdoa, dan lain sebagainya. Ini sepertinya remeh tapi sebenarnya hal-hal kecil semacam inilah sesungguhnya pondasi yang kokoh bagi bangunan sebuah kebudayaan dan peradaban.

Sesungguhnya hal-hal kecil seperti inilah yang dimulai Nabi Saw di awal-awal dakwahnya sehingga dalam waktu yang tak lama, Islam menjadi sebuah peradaban baru yang mengalahkan peradaban-peradaban lama (Romawi dan Persia) yang mulai bangkrut.

Akhlak Terpuji sebagai Pondasi Kokoh dan Spirit Peradaban

Sebuah peradaban yang kokoh dan benderang. Yang pernah menyinari Eropa — di masa kegelapannya – hingga hampir 1000 tahun lamanya. Islam kini menjadi salah satu peradaban dunia yang diperhitungkan. Dan dengan apa semua itu dibangun? Dengan modal apa, Rasulullah Saw membangun masa depan Islam tersebut hingga tetap bertahan dan kita megenalnya hari ini? Yaitu dengan akhlaqul karimah. Akhlak mulia. Akhlak terpuji.

Akhlak terpuji menjadi pondasi kokoh dan spirit sebuah peradaban itu adalah sesuatu yang nyata. Sehingga Syauqi Bey, seorang penyair Mesir pernah mengatakan, “Tegak dan ambruknya sebuah umat itu bergantung kepada akhlak mereka. Jika akhlak mereka baik, maka tegak berdirilah umat itu. Tapi jika akhlaknya hancur maka hancur pula umat itu.”

Jika kita mau sedikit belajar sejarah tentang bangun dan hancurnya suatu umat atau peradaban, maka sebenarnya apa yang disabdakan Rasulullah Saw dan yang dikatakan oleh Syauqi Bey di atas menjadi pengingat dan penegas bahwa akhlak terpuji itu adalah jaminan bagi kegemilangan masa depan. Dan hari ini juga, tentu saja.

Maka bisa dikatakan bahwa anak-anak zaman now, yang tidak dididik dengan akhlak terpuji mereka tak akan pernah menikmati kegemilangan dan kebahagiaan sejati masa depan. Boleh jadi, pada aspek lain anak-anak itu nantinya sukses. Tapi akan ada kegamangan dan kegelisahan yang meraka rasakan. Dan tentu saja, dengan demikian mereka bisa dikatakan bukanlah pemilik apalagi pencipta masa depan yang baik buat diri mereka sendiri.

Penyunting: M. Afiruddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *