Orang Tua Benteng Pertama Akhlaq

 

Hari-hari ini, hati kami menangis. Pengasuh, Pembina, Segenap dewan guru bahkan para alumni di luar sana yang masih peduli dan perhatian dengan keadaan almamater mereka menjerit. Tatkala santriwati-santriwati kami, tidak dapat menjaga sikap dan tingkah laku mereka terhadap perkembangan teknologi. Mereka salahgunakan kesempatan, untuk bertingkah sebebas-bebasnya. Jubah akhlak mereka  tanggalkan, hijab syari’at mereka gadaikan. Mereka demonstrasikan kebebasan hak privasi mereka ke khalayak umum. Untuk apa? Sungguh, kami merasa sedih sekaligus prihatin dengan kondisi jiwa-jiwa anak kami yang sedang “sakit” oleh virus kekinian.

Mari intropeksi diri. Siapa yang harus bertanggung jawab membentengi mereka? Pondok sudah barang tentu. Tapi peranan orang tua adalah benteng pertama bagi individu-individu yang ada di dalam benteng besar bernama Pondok Pesantren. Jika salah satu benteng yang dimiliki oleh individu ini roboh, maka kemungkinan besar, benteng-benteng kecil lainnya pun akan porak poranda. Baik itu oleh pemberontakan dalam diri individu itu sendiri karena melihat kebebasan yang lainnya, atau bisa jadi benteng orang tua itu roboh dengan sendirinya karena tidak kuat dan ikhlas menitipkan anakknya, melihat orang tua lain memfasilitasi kesenangan untuk anaknya, atau juga barangkali benteng itu roboh oleh kebringasan individu yang sudah keluar dari benteng orang tuanya. Maka, yang terjadi adalah gejolak massif yang menggerogoti urat nadi Pondok Pesantren kita ini. Mereka perlahan akan merusak pilar-pilar pondok tanpa kita sadari. Guru-guru sudah tentu dituntut untuk terus meningkatkan diri dalam pengawasan mereka, benteng utama harus terus dibangun dan dipertebal, teguran harus semakin dilancarkan dan tak ketinggalan uswah hasanah wajib disemaikan. Namun, satu hal tentu menjadi kekhawatiran kami. Ketika mereka berada di “luar” benteng, mereka meledak sejadi-jadinya. Teriak sekencang-kencangnya, dan mengekspresikan virus kekinian segila-gilanya jika benteng orang tua telah hancur. Peran orang tua adalah benteng pertama akhlaq anak-anaknya.

Pengunjung PP. Al-Ishlah

Mari kita renungkan sejenak, beberapa pesan KH. Hasan Abdullah Sahal, yang merupakan salah satu pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, kepada orang tua yang anaknya sedang menimba ilmu di Pesantren.

Pesan pertama, Anak tergantung orang tuanya. “Kalau mau punya anak bermental kuat, orang tuanya harus lebih kuat. Punya anak itu jangan hanya sekedar saleh, tapi juga bermanfaat untuk umat. Orang tua harus berjuang lebih ikhlas.”

Pesantren berusaha membendung arus kemajuan teknologi dan informasi yang begitu derasnya menerjang generasi-generasi muda. Namun jika wali santri, baik itu orang tua, sanak family ataupun saudara berkunjung ke pondok kok malah memberi kebebasan anaknya untuk membawa smartphone ke asrama, bahkan disalahgunakan di dalam komplek pondok sebagaimana yang terjadi hari-hari ini. Sungguh, suatu hari, hal ini akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Melarang wali santri membawa gadget ke pondok pun belum mungkin kami lakukan. Maka, kesadaran orang tua tentu sangat kami harapkan. Paling tidak, larang jika anak-anak mereka ingin membawa gadget mereka ke kamar-kamar.

Pesan kedua, Jangan takut terbelakang. “Para santri tidak akan menjadi bodoh karena tidak punya gadget.”

kemajuan teknologi merupakan fasilitas yang dapat dinikmati siapa pun. Berkat teknologi, komunikasi yang kita jalin dengan keluarga, saudara dan teman menjadi sangat mudah. Namun hal tersebut menjadi kendala sementara bagi anak-anak mereka. Dan itu lebih baik daripada anak-anak mereka, yang belum dapat menjaga dan membawa diri, sudah terseret pergaulan bebas di dunia maya. Tenggelam sedalam-dalamnya. Bisa kita lihat, 5 -6 tahun ini adalah fase-fase penurunan kualitas santri. Sebelum ini, bisa dihitung berapa banyak wali santri yang berkunjung membawa gadget. Sedikit. Berapa banyak santri yang dikunjungi kemudian berselancar di dunia maya. Hampir tidak ada. Sekarang, setiap kali kunjungan hampir semua anak sudah sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Inilah yang perlahan mulai kita sadarkan pada anak-anak. Mereka belum siap untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi.

Pesan ketiga, “Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu, karena menuntut ilmu agama daripada kamu sudah tua menangis karena anak-anakmu lalai urusan akhirat, memikirkan dunia, rebutan harta, suka pamer dan bahkan lupa surga”

Mengikhlaskan anak di pesantren memang bukan perkara mudah. Ada banyak kendala yang tentu dihadapi oleh para orang tua. Tapi setidaknya, ada niatan dalam diri kita untuk kesana. Berusaha membentengi anak dari arus besar kemajuan teknologi dan informasi. Nasehatilah anak untuk bijak dalam menggunakan gadget. Dan teruslah mengawasi proses belajar anak setiap kali berkunjung. Karena, jangan-jangan anak kita ingin dikunjungi karena mereka rindu dengan gadget mereka, bukan perhatian orang tua mereka.

Dan pesan yang terakhir, “Allah selalu melindungi para santri. Al-qur’an selalu menjaganya. Semua orang tua harus yakin dengan itu.”

Jika orang tua yakin, maka katakan pada anak-anak mereka untuk mendalami al-qur’an, hadist dan ilmu agama lainnya. Kurangi intensitas interaksi mereka dengan dunia gadget serta pernak-pernik yang ada di dalamnya. Awasi terus. Jangan sampai kita malah menjadi penyebar virus yang malah akan merusak harapan kita, harapan pondok dan masa depan anak-anak kita.

 

Sekian dari saya, semoga dapat menjadi perenungan bersama. Dalam menyikapi degradasi moral dan akhlak anak-anak kita beberapa hari ini.

Salam takzim untuk Pengasuh, Segenap Guru, Wali santri, serta alumni-alumni yang telah peduli dengan masalah ini. Dan salam cinta untuk anak-anakku yang menimba ilmu di PP. Al-Ishlah Sendangagung.

 

Raihan Alam, orang yang tak pernah menemukan ekor alasan di belakang kata Cintanya pada PP. Al-Ishlah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *